Jumat, 05 Juni 2015

RENATA 2




 Whulandary Herman sebagai Renata

Coba bayangkan, jika kau harus menemui orang yang kau cintai di hidupmu dengan sebuah topeng menjijikkan, rasanya ingin tetap di koordinat ini saja, tetap tak bergerak. 

Ya, Renata belum sanggup dikatakan perempuan malam oleh Alfa, itulah alasannya kenapa ia ragu melangkahkan kakinya ke pintu Cafe. Oke, bagi klien lelaki hidung belang yang haus jamahan perempuan, ia tak peduli. Tapi, ini Alfa. Lelaki yang sudah menarik perhatiannya lama. Mana bisa ia menaruhkan harga dirinya begitu rendah? 

“Tapi, mana ada juga perempuan sepertiku masih memiliki harga diri?” batinnya meracau. Mencoba percaya diri, namun ditumbangkan lagi oleh pendapatnya sendiri.

Padahal, Renta selalu bermimpi, bisa bertemu dan mengenal Alfa seperti gadis lainnya. Mungkin adegan tabrakan, ketinggalan ponsel, atau pura-pura ingin latihan biola—ah, kalau mimpi itu benar adanya, lalu berapa topeng lagi yang harus ia kenakan hanya untuk zat bernama cinta itu?

“Huh! Tak ada gunanya membahas cinta. Buatmu itu, cinta hanya fatamorgana. Sepertinya takdir telah memilihmu untuk menyendiri selamanya. Jangan terlalu berharap pada cinta, Re. Cinta tak bisa membuatmu kenyang!” sisi jiwa Renata membisik penuh provokasi melemparkannya ke titik kakinya yang menapak tegak.

Cafe De Cozy 11.00 am
Tak perlu mencari dan mengedarkan pandangan untuk seseorang yang selalu hadir dalam imajinasi. Semua raut dan lekuk tubuhnya sudah ia kenali. Bahkan aroma yang selalu memanjakan syaraf kranialnya. Bukan berlebihan, Renata memang cukup lihai dalam menyimpan memori visual. Jadi, jika sekarang langkahnya penuh percaya diri berjalan ke arah Alfa yang sedang duduk di salah satu kursi, itu sudah tak begitu mencengangkan.

Jas hitam, kemeja putih, dan—Oke, Renata belum sempat menunduk hingga celananya—membalut Alfa dengan rapi dan sopan. Ya, meski masih terlihat sedang resah menunggunya. Ia tahu, jika warna favorit pria bertubuh tegap itu putih. Selalu melihat aksinya ketika di kampuslah, jawaban kenapa ia hafal dengan kemeja yang selalu dipakai violis ini.

Renata duduk di depan Alfa tanpa sedikit pun terlihat gugup. Ia sengaja tak memakai topeng. Ya, entah kenapa ia ingin menjadi diri sendiri, siang itu.

“Emm..., halo. Aku Alfa” ucap Alfa dengan air muka kakunya. Pemuda itu tak cukup berani memandang mata si gadis. Kepalanya tertunduk. 

Melihat Alfa tertunduk sperti itu, membuat Renata tak bisa berbuat apa-apa. Seperti ada syaraf reseptornya yang putus hari itu juga. Ya, berkali-kali ia menyumpahi diri sendiri kenapa hari ini, bisa-bisanya ia memakai perasaan dalam berbisnis.

“Kamu kuat Re! Jangan terbawa suasana! Ia tak pernah menggubrismu, kenapa kamu harus memikirkannya sampai seperti orang gila!” lagi, si iblis dalam hatinya mulai berseloroh mencari perhatian Renata.

###

Senyap. Hanya derung AC yang terdengar lembut menawarkan sebuah desahan mesin yang dengan sekuat tenaga berusaha mendinginkan ruangan yang bagi Renata malah mendadak panas. Ruangan luas VIP cafe yang dimiliki de Cozy berada di lantai delapan dari lantai dasar. Terlihat private dan tersembunyi memang, dengan kode yang sudah Renata pegang dari admin Cafe, ia berhak menjadi pemilik satu kamar private hari itu. Renata cukup menyanjung pemilik bisnis cafe bergaya Eropa klasik ini. Selain tempatnya sangat nyaman dan fasilitas lengkap, rahasia dan privasi pelanggan benar-benar diutamakan. Mewah dan berkelas, dua kata itu sepertinya sudah dapat menjelaskan siapa saja yang bisa menginjakkan kakinya di keramik legam mengkilap ini.

Renata masuk dalam kebisuan yang beku. Tak ada dialog seperti yang pernah ia lihat di film-film romantis yang sialnya kenapa ia sangat harapkan. Siang itu, ia ingin sekali berbincang apa saja kepada Alfa. Bukan hanya hubungan badan. Tapi, celoteh tentang apa pun ia sudah sangat bahagia. Namun, sepertinya keinginannya harus tetap terkubur, melihat pria berambut gondrong itu tetap diam bergeming di sisi ranjang. Padahal, Renata biasanya tak peduli dengan hal-hal remeh seperti ini. Malah, semakin cepat klien terpuaskan, semakin ia lega dan ingin cepat-cepat pulang. Namun, hari ini lain! Ia seperti kesurupan pecinta novel drama atau film romantis yang menginginkan sebuah ucapan mesra. Atau setidaknya, kata hai, yuk, atau sudah siap? Dari lawan mainnya. Ya, kalau itu bisa disebut juga salah satu kata-kata mesra.

Tapi, Renata benar-benar tersiksa dengan kebekuan itu.

“Dan sekarang kau malah terlihat takut untuk kudekati? Semengerikankah itu aku di hadapanmu, Alfa?” batin Renata meronta ketika melihat Alfa malah duduk di samping ranjang dengan menautkan kedua tangannya yang mungkin telah banjir keringat. 

Renata tak ingin menunggu lama. Ia pun mendekat. Berjalan perlahan. Kaki jenjangnya yang mulus akhirnya tergambar ketika dress mininya terlepas dari tubuh. Payudaranya masih tertutup bra merah darah. Ia berjalan dengan hanya pakain dalamnya yang serasi dengan penutup dadanya. Ia pun duduk di samping Alfa yang masih belum juga berganti posisi. Renata melihat Alfa tetap menunduk, meski aroma dior harusnya telah sampai ke bulu hidungnya dan membuatnya bergairah. 

Melihat tidak ada respon dari Alfa, ingin rasanya Renata mengakhiri pekerjaannya saja. Ia lebih bahagia sebenarnya, membiarkan Alfa tetap menjadi Alfa yang tak tersentuh, tak terjamah, karena—

“Aku tak bisa melakukan ini,” batinnya mengambil keputusan. Ia pun beranjak, melangkah.

Namun, dengan tiba-tiba lengan panjangnya tertahan. Tak ada satu menit, tangannya sudah terkunci oleh genggaman pria tampan di sampingnya. Jantung Renata pun seakan meloncat hilang. Ia merasakan ada getaran aneh yang menyusup dadanya. Nyeri namun ia menikmati. Sentuhan pertama yang membuat ia seperti gila. Genggaman dingin dan basah Alfa menahannya, membuatnya ia tak ingin pergi lagi.

SIAL!!!

Renata tak bisa mengontrol dirinya lagi saat Alfa menariknya hingga hampir tidak ada jarak dengan tubuh mereka. Kini mata mereka lama beradu. Renata ingin lepas dari penjara tatapan dalam Alfa, namun sia-sia. Mata hitamnya menusuk iris Renata yang kini melebar. Tanpa aba-aba, sentuhan bibir lembut dirasakan Retina. Dari kening, mata, pipi, dan bermuara pada bibir lembutnya yang telah tersapu lipglossh rasa jeruk. Mereka saling mengecup dan Renata merasakan ia benar-benar dirinya. Jiwanya. Ah, sepertinya ia harus bersyukur, kehabisan obat hari ini.

Kini giliran Renata yang bergerilya. Melihat Alfa tersenyum di dekatnya, seakan pekerjaannya tak lagi ia hiraukan. Mungkin, ia rela tak dibayar. Atau dicap sebagai pelacur paling murah sekali pun. Ia tak peduli lagi, baginya kini, memenuhi hasrat Alfa adalah fokusnya.

Ia berusaha mengecup setiap lembaran kulit putih Alfa, memberikan sensasi kelembutan dari bibir ranumnya yang kini basah. Dari paha, ia terus merangkak naik. Tiap inchi ranah yang ia basahi terdengar erangan kenikmatan dari Alfa. Ia semakin terlecuti. Kenikmatan Alfa adalah kebahagiaannya juga. Ia rela, terus mengendus, mencium, bahkan menjilat, seluruh tubuh Alfa yang mulai menguarkan aroma keringat. Kaki, perut, dada, leher, bibir, hingga sampailah ia harus mencumbu pusat kenikmatan pria itu. Dengan hati-hati dan sangat lembut ia memperlakukannya seperti harta yang sangat berharga. Ia mulai melakukannya. Seperti yang sudah ia lakukan pada kulit lainnya. Ia semakin cepat, saat erangan bahkan teriakan Alfa mulai terasa mencambuknya. Ia pun berhasarat. Namun tiba-tiba—

Ia terbalik dengan kasar. Tubuhnya terjuntai keras di  ranjang. Renata mendesah kesakitan. Ia menjerit saat tusukan kasar menembus jiwanya. Hentakan demi hentakan berima terasa mengoyakkan tubuhnya. Ia mendesah parau. Merasa diperkosa namun juga menikmatinya. Ia terus melawan, mencoba mencengkeram kuat Alfa yang seperti kuda. Ia tentu tak membiarkan kalah begitu saja. Ia terus melawan, dengan gerakan pinggul yang semakin cepat. Seperti sebuah gerakan tarian bernada cepat, Renata mencoba menyelaraskan apa yang Alfa mulai. 

Dan semua berakhir saat dirinya dan Alfa melepaskan jerit terkahir setelah helaan napas cepatnya. Mereka tersungkur. Lemah dan hanya terbaring.

“Dasar gadis murahan! Berapa banyak laki-laki yang menidurimu!”  ucapnya kasar. 

Renata diam. Mendengar kata kasar dari Alfa yang seharusnya tak perlu ia dengarkan. Puluhan ucapan itu sudah sering keluar masuk lewat telinganya.  Tapi, kenapa kali ini bukan hanya masuk, tapi menancap perih di ulu hatinya. 

Ia menagis dalam rupiah yang menyelimuti tubuhnya yang kedinginan itu. Ia semakin menggigil, tubuhnya terasa tergoncang, entah kenapa ucapan Alfa seperti membunuh dirinya detik itu juga. Melemparkan dirinya ke jurang nista yang menjijikkan. Ya, Renata sadar, jika dirinya hanyalah sampah. Dirinya tak layak untuk zat yang teramat suci bernama cinta. Ia terlalu jauh. Zat itu terlalu agung. Memandangnya saja ia tak sanggup, apalagi merengkuhnya.

“Mana ada cinta yang layak untuk oarang kotor sepertiku? Kau benar Alfa, aku hanya binatang jalang yang menjijikkan!” kata Renata dalam isakan tangis.

Ia tersadar, bahwa dirinya teramat kotor untuk sekadar mencintai. Tapi, bukan Renata namanya jika ia tak mencobanya dulu. Melihat Alfa sudah hampir selesai memakai celana dan jasnya, ia menghapus air matanya dan berteriak menantang.

“Hei lelaki penakut yang sok! Cuma itu doang kemampuan ranjangmu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar