Jumat, 15 Mei 2015

Azalea Klein part 1

"Tudtu, this is Klein. Three SS of M ASAP."

Klik.

Diputusnya sambungan segera setelah selesai bicara. Ia merasa sedikit lega. Paling tidak, kali ini ia berani berbuat sesuatu. Tarikan napasnya terasa sedikit lebih ringan. Ia menggulung rambut coklatnya dan menyelipkan ke sela topi, membiarkan udara sejuk dari air conditioner dekat kasir membelai tengkuknya.

Ia yakin Tudtu--atau orang suruhannya--tak akan terlambat. Pria Thailand itu punya jaringan menakjubkan, ia bisa diandalkan. Mereka bertemu pertama kali dalam insiden kebakaran apartemen di Bangkok setahun lalu, tepat ketika ia akan mengurus masalah suplai bahan baku yang tersendat. Tudtu datang begitu saja, dengan kaus oblong dan sandal jepit, menampakkan senyum ramah yang diagungkan maskapai Thailand sebagai senyum paling tulus, menghampirinya yang masih tercengang bersama ratusan penghuni apartemen yang dievakuasi.

"Kau pasti Lea," katanya kala itu, dengan bahasa Inggris tanpa aksen. "Maafkan aku soal suplai bahan baku, semua jadi abu dan terkubur di sana." Tudtu menggerakkan dagu ke arah kepulan asap dari apartemen yang seharusnya ia kunjungi siang itu. "Tapi situasi aman, pulanglah ke hotel. Aku akan menghubungimu di sana."

Sejak mengenal Tudtu, Lea tahu, ia masih punya harapan. Ia kembali ke Indonesia dan mencurahkan perhatian pada kafe ini, kafe yang ia harapkan akan menjadi tempat yang hangat dan nyaman, bersih dari masa lalu yang ia benci. Hingga suatu hari, ia bertemu perempuan itu. Perempuan dengan raut eksotis yang.... Ah, bagaimana mengungkapkannya?

Hidup perempuan itu sangat...menyedihkan? Atau naif? Ah, tidak keduanya. Ia hanya perempuan yang memaksa diri untuk tegar. Lea bisa menangkap kegetiran dalam sorot matanya, kegetiran dan kemuakan yang tertahan, yang cuma bisa hilang saat zat kimia di kepalanya diacak-acak. Untuk alasan itulah si perempuan eksotis ini menghubunginya sebulan sekali. Alasan itu juga yang membuat Lea sulit melepaskan kafe ini dari hal yang ia benci.

Ah, kenapa sih perempuan itu harus datang ke sini? Dan kenapa harus ia?

Masalahnya, kalau ia yang meminta, Lea tak sanggup menolaknya. Ia paham  betapa menderitanya perempuan itu kalau Lea tak memenuhi permintaannya.

"M sent. Courier with NY hat. Codename: Rasta."

Lea menatap layar ponsel, membaca pesan yang baru masuk. Dialihkannya tatapan ke jendela, mencari kurir yang akan dikirim Tudtu. Belum tampak. Ia lalu mengetik pesan singkat yang dikirimnya ke nomor lain.

"Barangnya ada di Rasta, ya, Ren. Cowok pakai topi NY di De Cozy. Have fun, be safe."

Ia tak bisa tahan untuk tak berpetatah-petitih pada perempuan itu. Walau hanya sekadar kata "be safe". Renata, perempuan itu, masih muda. Betapa masih panjang perjalanannya. Ia juga terlihat cerdas, harusnya ada masa depan baik yang menunggunya. Ah, kenapa ia jadi terbawa perasaan begini? Bukan Renata yang seharusnya ia khawatirkan, tapi dirinya sendiri.

Diraihnya kaleng bitter lemon yang berembun, disesapnya perlahan. Pikirannya melayang pada headline koran yang belakangan ini didominasi berita serupa. Ia berlangganan delapan koran yang berbeda, termasuk "koran kuning", yang biasa memasang judul bombastis tapi isinya sampah. Jenis koran yang akan diabaikan orang-orang berkerah putih di negeri ini. Mereka salah. Koran kuning menyimpan petunjuk tentang pergolakan-pergolakan di lapisan sosial terbawah yang justru jadi mayoritas di sini. Dan dari koran kuning pula ia tahu betapa ganas pengaruh dari dunia yang digelutinya. Itu pula yang menyebabkan ia ingin hengkang entah sejak berapa tahun lalu.

Tapi, yang membuatnya khawatir belakangan ini justru berita di koran-koran mainstream. Headline mereka mengarah ke satu titik di kota ini, dan beberapa kali headline itu ditulis oleh inisial yang sama. DNA.

Sial. Bahkan inisial pilihannya pun begitu high and mighty. DNA: Cetak biru makhluk hidup. Siapa gerangan manusia di balik inisial DNA ini?

DNA must be an arogant man, full of himself, huh.

Lea mendengus kecil. Bagaimanapun, jurnalis yang berhasil menorehkan inisialnya berkali-kali di headlines, bukan jurnalis yang bisa dianggap sepele.

Ia meneguk habis bitter lemon di genggamannya, membebaskan rambut coklatnya yang tadi tergulung di topi, mengancingkan jaket, lalu berdiri. Sempat ia lihat pemuda kikuk berambut ikal di non-smoking area mencuri pandang ke arahnya. Ia tahu pemuda itu. Alfa. Si violis berbakat yang pernah diundang bagian marketing untuk mengisi stage di kafe ini. Penampilannya menyedot banyak pengunjung. Jeli juga staff marketing itu mencari talent. Tapi, ia yakin Alfa tak mengenalnya. Ia tak pernah mengontaknya langsung.

Derit pintu dan ucapan selamat datang dari staff membuatnya menoleh. Itu Renata!

Dibenamkannya topi hingga nyaris menutupi mata, lalu Lea bergegas menyelinap ke pintu kecil di belakang bar.

Hari ini ia merasa tak ingin bertemu Renata. Biarlah Rasta yang menyampaikan barang pesanan itu. Kurir-kurir Tudtu toh hanya sekali pakai. Kemungkinan besar Rasta tak tahu siapa yang mengirim dan barang apa yang dibawanya. Double vigilant. Kewaspadaan ganda. Itu prinsip kerja mereka. Lea cukup mengawasi di belakang layar.

Lagi pula, ada hal lain yang membuatnya tak ingin bertemu Renata. Ia telah mengganti pesanan gadis itu dengan barang lain.

Maafkan aku, Ren. Ini untuk kebaikanmu. Lagi pula, efeknya sama saja dengan barang yang biasa kau pakai. Persis. Tak usah khawatir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar