Rabu, 20 Mei 2015

Audrick Widjaja Part 1

Adipati Dolken as Audrick Widjaja



                .Seseorang telentang sendirian di atas tempat tidurnya. Matanya memicing tapi tak sedang tidur, apalagi mendengkur. Jemari tangan kiri secara bergantian menari-nari, mengetuk-ngetuk tabung gitar Ibanez yang memang berada di sebelah kirinya sedari tadi. Hanya jika yang tahu, lelaki berambut ikal sebahu itu pasti sedang memikirkan sesuatu. Kebiasaan yang hampir setiap hari dilakukan oleh seorang Audrick Widjaja.
              Sebetulnya, ia sudah bosan dengan semua keadaan yang ada di sekitarnya. Orang-orang pandai seakan tampak dungu jika di hadapan orang yang lugu. Apalagi kakaknya, Alfa Widjaja. Bagaimana mungkin dia yang berusia tiga tahun di atasnya belum pernah memiliki tambatan jiwa. Esensinya, dosen seni sudah pasti banyak penggemarnya. Ataukah kakak semata wayangnya itu benar-benar bodoh? Hingga tak ada satu pun wanita yang terkecoh. Ah, Alfa memang pantas dicemooh.
            Audrick bangkit dari pembaringan sambil membuka matanya. Di depannya ada sebuah cermin yang selalu pintar mengatakan hal yang benar. Ditatapnya mirat itu dengan saksama, kulit putih dan hidung mancungnya memang tak jauh berbeda dengan Alfa. Hanya yang membedakan adalah bibir mereka berdua: bibir penghasut dan bibir yang penuh kerut. Pastilah Alfa tidak pernah berciuman.
            Lelaki yang berusia dua puluh empat tahun itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya memandang ke depan, tapi pikirannya jauh ke kahyangan.
            Cih. Apa yang ada dibenak Alfa sebenarnya? Mau-maunya dia melumuri hidupnya yang suci dengan segenggam tahi. Semoga ia baik-baik saja dengan perempuan setan yang diajaknya kencan.
***
            De Cozi Cafe, pukul 12.40

Jujur aku mencintai Tuhan karena di antara fajar dan senja
Maka jika mereka berdua memang telah raib dimakan era,
Atau mataku sudah tak bisa melihatnya,
Dan barangkali hatiku tak lagi bisa merasakan kedamaiannya,
Maka aku tak akan lagi bisa mencintai Tuhan Sang Penguasa 

Andai Tuhan tak menciptakan fajar dan senja
Maka aku tak akan mencintaiNya
Bahkan ketika mataku sudah mulai jemu,
Dan boleh jadi kalbu juga berseteru,
Maka bait pertama dan ke dua adalah hal yang berbeda

           
Audrick menghentikan pucuk pena yang sejak tadi menggores notes birunya. Ini adalah puisi ke-321 yang pernah dibuatnya sejak ia menginjakkan kaki di dunia. Tak ada obsesi apa-apa selain tulisannya berubah jadi nyata. Impian yang sederhana, membuat puisinya bisa bergerak secara visual atau digital. Yang bisa menari-nari, ke sana-kemari, berwarna-warni.
Mendadak, Audrick teringat akan sosok Kadri yang tak lain adalah teman sebangkunya semasa SMP. Meski hanya setahun duduk bersebelahan, Kadri adalah satu-satunya orang yang mampu membuat Audrick tercengang. Meskipun rautnya tak pernah riang, tapi matanya selalu jauh menerawang setiap kali bibirnya mengoceh secara gamblang tentang harapannya menjadi pelukis senja menjelang petang. Katanya, terbenamnya matahari mirip dengan hidupnya. Audrick tak pernah mengerti hingga detik ini.
Lelaki yang lebih sering dipanggil "Od" oleh Alfa mengangkat lengan kanan sambil melihat arloji Rolex berwarna emasnya. Jam menunjukkan pukul 13.01.
Cih. Lewat satu menit. Menunggu orang tak jelas hanyalah semacam menanti negeri ini melunasi hutang-hutangnya. Keduanya nggak ada yang penting bagiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar