Adipati Dolken as Audrick Widjaja
.Seseorang
telentang sendirian di atas tempat tidurnya. Matanya memicing tapi tak sedang
tidur, apalagi mendengkur. Jemari tangan kiri secara bergantian
menari-nari, mengetuk-ngetuk tabung gitar Ibanez yang memang berada di sebelah kirinya sedari tadi. Hanya jika yang tahu, lelaki berambut ikal sebahu
itu pasti sedang memikirkan sesuatu. Kebiasaan yang hampir setiap hari
dilakukan oleh seorang Audrick Widjaja.
Sebetulnya,
ia sudah bosan dengan semua keadaan yang ada di sekitarnya. Orang-orang pandai
seakan tampak dungu jika di hadapan orang yang lugu. Apalagi kakaknya, Alfa
Widjaja. Bagaimana mungkin dia yang berusia tiga tahun di atasnya belum pernah
memiliki tambatan jiwa. Esensinya, dosen seni sudah pasti banyak
penggemarnya. Ataukah kakak semata wayangnya itu benar-benar bodoh? Hingga tak
ada satu pun wanita yang terkecoh. Ah, Alfa memang pantas dicemooh.
Audrick
bangkit dari pembaringan sambil membuka matanya. Di depannya ada sebuah cermin
yang selalu pintar mengatakan hal yang benar. Ditatapnya mirat itu dengan
saksama, kulit putih dan hidung mancungnya memang tak jauh berbeda dengan Alfa.
Hanya yang membedakan adalah bibir mereka berdua: bibir penghasut dan bibir
yang penuh kerut. Pastilah Alfa tidak pernah berciuman.
Lelaki
yang berusia dua puluh empat tahun itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya
memandang ke depan, tapi pikirannya jauh ke kahyangan.
Cih. Apa yang ada dibenak Alfa sebenarnya?
Mau-maunya dia melumuri hidupnya yang suci dengan segenggam tahi. Semoga ia
baik-baik saja dengan perempuan setan yang diajaknya kencan.
***
De Cozi Cafe, pukul 12.40
Jujur
aku mencintai Tuhan karena di antara fajar dan senja
Maka
jika mereka berdua memang telah raib dimakan era,
Atau
mataku sudah tak bisa melihatnya,
Dan
barangkali hatiku tak lagi bisa merasakan kedamaiannya,
Maka
aku tak akan lagi bisa mencintai Tuhan Sang Penguasa
Andai Tuhan tak menciptakan fajar dan senja
Maka aku tak akan mencintaiNya
Bahkan ketika mataku sudah mulai jemu,
Dan boleh jadi kalbu juga berseteru,
Maka bait pertama dan ke dua adalah hal yang berbeda
Andai Tuhan tak menciptakan fajar dan senja
Maka aku tak akan mencintaiNya
Bahkan ketika mataku sudah mulai jemu,
Dan boleh jadi kalbu juga berseteru,
Maka bait pertama dan ke dua adalah hal yang berbeda
Audrick menghentikan pucuk pena yang sejak tadi menggores notes birunya.
Ini adalah puisi ke-321 yang pernah dibuatnya sejak ia menginjakkan kaki di
dunia. Tak ada obsesi apa-apa selain tulisannya berubah jadi nyata. Impian yang
sederhana, membuat puisinya bisa bergerak secara visual atau digital. Yang bisa
menari-nari, ke sana-kemari, berwarna-warni.
Mendadak,
Audrick teringat akan sosok Kadri yang tak lain adalah teman sebangkunya semasa
SMP. Meski hanya setahun duduk bersebelahan, Kadri adalah satu-satunya orang
yang mampu membuat Audrick tercengang. Meskipun rautnya tak pernah riang, tapi
matanya selalu jauh menerawang setiap kali bibirnya mengoceh secara gamblang tentang
harapannya menjadi pelukis senja menjelang petang. Katanya, terbenamnya
matahari mirip dengan hidupnya. Audrick tak pernah mengerti hingga
detik ini.
Lelaki
yang lebih sering dipanggil "Od" oleh Alfa mengangkat lengan kanan sambil
melihat arloji Rolex berwarna emasnya. Jam menunjukkan pukul 13.01.
Cih. Lewat satu menit. Menunggu
orang tak jelas hanyalah semacam menanti negeri ini melunasi hutang-hutangnya.
Keduanya nggak ada yang penting bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar