Selasa, 12 Mei 2015

Alfa W. Episode 1




Iskandar W as Alfa W

                Musik beralunan lembut terasa mengendap di telinga, bergeming, berputar-putar di dalam kepala pemuda berambut gondrong yang sedikit gimbal itu. Ia duduk dengan dagu terangkat akibat topangan tangannya. Jas hitam dengan kemeja puith di dalamnya terasa pas sekali di tubuh tegap itu, ditambah gaya santai dari celana chino dan sepatu cats yang ia padukan. Mata pemuda berkulit putih bersih tanpa tahi lalat itu mengarah pada ornamen caffe bernuansa eropa klasik. Sesekali, ia meneguk air luir yang benar-benar keluh.

                Aku bisa! Yah, aku pasti bisa bercinta dengan gadis itu! Ricaunya dalam benak.

                Pemuda itu bernama Alfa Widjaya, hampir satu jam ia menunggu di caffe dekat universitas tempatnya mengajar sebagai dosen seni musik klasik. Suasana caffe siang itu cukup ramai, maklum saja, ini sudah memasuki waktu makan siang. Beberapa meja berukur kecil, sedang, dan besar menghiasi ruangan yang di dominasi warna cream dengan ukiran-ukiran kuno namun artistik.

                Ah, andai saja aku tidak nekat cerita ke Audrick tentang hubungan percintaanku yang begitu standart. Tidak pernah pelukan, ciuman, apalagi meniduri anak orang. Pasti dia tidak akann memaksaku melakukan hal ini. Sial! Sudah dua puluh lima tahun aku hidup, tapi tidak pernah sekali pun pacaran! Batin Alfa. 

                Sorot pandangan Alfa terenggut oleh perempuan yang duduk santai di balik bar kecil caffe tersebut. Rambutnya tergerai panjang, berwarna kecoklatan, kentara sekali kalau perempuan itu merupakan darah blasteran, sama seperti Alfa yang berketurunan Indonesia dari ayahnya dan Ibunya yang blasteran Jerman-Indonesia.

                 Bunyi deringan dari pintu caffe bersuara pelan, samar, pertanda kalau ada pelanggan yang datang. Saat itu, Alfa duduk di dekat pintu, matanya langsung saja menangkap gadis jenjang berkulit cokelat eksotis. Pemuda penggila biola itu masih saja terpukau, terkesima saat kini gadis itu telah duduk di hadapannya. Alfa tahu kalau gadis bermata tajam itu sering melihat permainan biolanya saat mengajar. Gadis itu selalu duduk di barisan paling belakang dari aula gedung jurusan seni musik. 

                “Emm..., halo. Aku Alfa” ucap Alfa dengan air muka kakunya. Pemuda itu tak cukup berani memandang mata si gadis. Kepalanya tertunduk. 

                Suasana hening tercipta di antara mereka. Alfa menerka kalau gadis bernama Renata itu juga sama kikuknya seperti dia. 

***
                Remang-remang, muka Alfa tercetak dari pendar lampu kamar. Mulutnya meracau tak jelas. Ia merebahkan tubuh di kasur dengan kedua telapak tangan sebagai bantal, membuat bulu-bulu halus di ketikanya tercium jelas, bercampur aroma keringat yang sudah membanjiri tubuh. Kedua kaki pemuda itu dibuka lebar-lebar. Bungkusan celana dalam sudah tak tahu rimbanya di mana. Ia meraskan nikmat pada kulit menjuntai di selangkangannya. 

                Ahh, luar biasa sekali gadis tomboy ini. Batin Alfa.

                Langit-langit kamar terasa runtuh, mendekati mata dan semkain masuk melarung di jiwa. Tak ada lagi suara kenikmatan dari pemuda itu walaupun sang gadis masih bergerilya di tubuhnya. Seperti tersadar, pemuda itu melonjak kaget, ia berdiri cepat. Mendorong pundak lawan mainnya, lalu memompa pinggul dengan sangat cepat. Napas tersengal. Keringat berjatuhan. Ia melihat raut wajah Renata yang sepertinya sakit bukan kepalang. Adegan intim yang semula terasa mesra, berubah buas seperti binatang.

                “Dasar gadis murahan! Berapa banyak laki-laki yang menidurimu!”  ucapnya kasar. 

                Setelah permainan selesai, pemuda bertubuh putih, tegap itu melembar beberapa helai uang ke tubuh si gadis tomboy.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar