Iskandar W as Alfa W
Musik beralunan lembut terasa
mengendap di telinga, bergeming, berputar-putar di dalam kepala pemuda berambut
gondrong yang sedikit gimbal itu. Ia duduk dengan dagu terangkat akibat
topangan tangannya. Jas hitam dengan kemeja puith di dalamnya terasa pas sekali
di tubuh tegap itu, ditambah gaya santai dari celana chino dan sepatu cats yang
ia padukan. Mata pemuda berkulit putih bersih tanpa tahi lalat itu mengarah
pada ornamen caffe bernuansa eropa klasik. Sesekali, ia meneguk air luir yang
benar-benar keluh.
Aku bisa! Yah, aku pasti bisa bercinta dengan gadis itu! Ricaunya
dalam benak.
Pemuda itu bernama Alfa Widjaya,
hampir satu jam ia menunggu di caffe dekat universitas tempatnya mengajar
sebagai dosen seni musik klasik. Suasana caffe siang itu cukup ramai, maklum
saja, ini sudah memasuki waktu makan siang. Beberapa meja berukur kecil,
sedang, dan besar menghiasi ruangan yang di dominasi warna cream dengan ukiran-ukiran
kuno namun artistik.
Ah, andai saja aku tidak nekat cerita ke Audrick tentang hubungan
percintaanku yang begitu standart. Tidak pernah pelukan, ciuman, apalagi
meniduri anak orang. Pasti dia tidak akann memaksaku melakukan hal ini. Sial!
Sudah dua puluh lima tahun aku hidup, tapi tidak pernah sekali pun pacaran! Batin
Alfa.
Sorot pandangan Alfa terenggut
oleh perempuan yang duduk santai di balik bar kecil caffe tersebut. Rambutnya
tergerai panjang, berwarna kecoklatan, kentara sekali kalau perempuan itu
merupakan darah blasteran, sama
seperti Alfa yang berketurunan Indonesia dari ayahnya dan Ibunya yang blasteran
Jerman-Indonesia.
Bunyi deringan dari pintu caffe bersuara
pelan, samar, pertanda kalau ada pelanggan yang datang. Saat itu, Alfa duduk di
dekat pintu, matanya langsung saja menangkap gadis jenjang berkulit cokelat
eksotis. Pemuda penggila biola itu masih saja terpukau, terkesima saat kini
gadis itu telah duduk di hadapannya. Alfa tahu kalau gadis bermata tajam itu
sering melihat permainan biolanya saat mengajar. Gadis itu selalu duduk di
barisan paling belakang dari aula gedung jurusan seni musik.
“Emm..., halo. Aku Alfa” ucap
Alfa dengan air muka kakunya. Pemuda itu tak cukup berani memandang mata si
gadis. Kepalanya tertunduk.
Suasana hening tercipta di
antara mereka. Alfa menerka kalau gadis bernama Renata itu juga sama kikuknya
seperti dia.
***
Remang-remang, muka Alfa
tercetak dari pendar lampu kamar. Mulutnya meracau tak jelas. Ia merebahkan
tubuh di kasur dengan kedua telapak tangan sebagai bantal, membuat bulu-bulu
halus di ketikanya tercium jelas, bercampur aroma keringat yang sudah
membanjiri tubuh. Kedua kaki pemuda itu dibuka lebar-lebar. Bungkusan celana
dalam sudah tak tahu rimbanya di mana. Ia meraskan nikmat pada kulit menjuntai
di selangkangannya.
Ahh,
luar biasa sekali gadis tomboy ini. Batin Alfa.
Langit-langit kamar terasa
runtuh, mendekati mata dan semkain masuk melarung di jiwa. Tak ada lagi suara
kenikmatan dari pemuda itu walaupun sang gadis masih bergerilya di tubuhnya.
Seperti tersadar, pemuda itu melonjak kaget, ia berdiri cepat. Mendorong pundak
lawan mainnya, lalu memompa pinggul dengan sangat cepat. Napas tersengal.
Keringat berjatuhan. Ia melihat raut wajah Renata yang sepertinya sakit bukan
kepalang. Adegan intim yang semula terasa mesra, berubah buas seperti
binatang.
“Dasar gadis murahan! Berapa
banyak laki-laki yang menidurimu!”
ucapnya kasar.
Setelah permainan selesai,
pemuda bertubuh putih, tegap itu melembar beberapa helai uang ke tubuh si gadis
tomboy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar