Fedi Nuril as Kadryan Azka
Ketika matahari terbenam, aku... aku ingin menjadi bulan untuk
menerangi malammu...
Layar komputer itu tampak menampilkan sebuah animasi bergambar
seorang laki-laki dan seorang perempuan di bawah rembulan dengan gerakan yang
sangat cepat. Kadri menghela napas panjang. Kedua korneanya masih menatap tajam
gambar animasi yang dibuatnya hanya dalam satu jam itu.
“Kadri, gambar animasi seperti ini sekarang sudah enggak laku.
Siapa yang mau download? Begini, kita ketemu saja di cafe de Cozy siang ini,
saya perlu ketemu langsung denganmu. Saya punya ide bagus.”
Kata-kata Andre—founder website Animindo—menguar begitu
saja dari benak laki-laki bermata sayu itu. Kadri tidak pernah suka keluar
rumah. Sudah terhitung tiga tahun dia tidak keluar dari rumah kecuali ke
minimarket pada jam tiga dini hari untuk membeli keperluan hidupnya. Hanya itu.
Selebihnya, dia menghabiskan waktu untuk berada di depan layar komputer,
berkencan dengan animasi-animasi buatannya sendiri.
***
Cafe de Cozy
13.30 WIB
Laki-laki berambut gondrong, memakai kacamata, memakai kemeja
putih, dan duduk di meja bernomor 17. Kadri terus saja mengingat ciri-ciri yang
diberikan Andre pagi tadi. Laki-laki bertubuh kurus itu memang belum pernah
bertemu langsung dengan Andre. Jika bukan karena pekerjaan, Kadri tidak akan
pernah ingin bertemu dengan Andre, bahkan harus masuk ke dalam cafe yang penuh
dengan orang. Dia benci keramaian. Dia benci suara-suara riuh rendah itu. Dia
benci suara-suara musik yang sama sekali tidak dia kenal itu, yang menurutnya hanya
menganggu gendang telinga.
Meja nomor 17, meja nomor 17, meja nomor 17....
Kadri terus merapalkan kalimat itu dalam hati seraya mengedarkan pandangannya
ke seluruh ruangan. Deg! Di meja nomor 12, dia melihat seseorang yang dia
kenal. Audrick, teman SMP-nya. Tatapan mata Kadri terhenti pada wajah tampan
itu. Apakah dia perlu menyapanya? Atau dia pura-pura tidak melihatnya saja? Pilihan
kedua sepertinya lebih tepat. Toh, Audrick sedang sibuk berbincang
dengan seorang gadis yang duduk berseberangan dengannya.
Setelah menemukan meja bernomor 17, Kadri langsung melihat sosok
yang sesuai dengan ciri-ciri yang diberikan Andre. Laki-laki itu segera
berjalan menghampirinya.
“Mas Andre?” tanya Kadri sambil mengulurkan tangannya.
Sosok berkumis itu tersenyum dan menjabat tangan Kadri. “Kadri, ya?”
Kadri mengangguk sopan. Setelah menarik kursi yang berada di
sampingnya, dia segera duduk berhadapan dengan Andre.
“Begini, kita langsung to the point aja, saya satu jam lagi
ada meeting.”
***
Sudah setengah jam Kadri terdiam. Minuman yang dipesannya sama
sekali belum dia icip setetes pun. Andre yang tadi duduk di depannya kini sudah
lenyap ditelan keramaian.
Mata Kadri terpaut pada seorang gadis berambut panjang yang duduk
di meja nomor 14. Gadis cantik berambut panjang itu terlihat mengaduk-aduk
minumannya dengan wajah tanpa ekspresi.
“Tapi, Mas... saya...”
“Kadri, itu ide yang sangat fantastis! Astaga! Selama ini kamu
ngapain aja belum pernah nonton bokep?”
“....”
“Pokoknya, saya mau kamu bikin game
ini jadi semacam hentai. Kalau kamu belum pernah lihat orang telanjang, ya coba
kamu fantasiin siapa gitu. Atau... itu tuh yang di meja nomor 14. Yang seksi
itu. Bayangin kamu tidur sama dia... terus bikin game-nya!”
Jantung Kadri berdetak lebih kencang dari biasanya. Berkali-kali
Kadri mencoba membayangkan gadis itu tanpa busana, tapi dia selalu gagal. Dia tidak
ada bayangan sama sekali. Sepersekian detik kemudian, mata Kadri bertemu dengan
mata gadis itu.
Dan bodohnya, Kadri baru sadar. Gadis itu bernama Renata... adik
kelasnya ketika SD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar