Selasa, 12 Mei 2015

RENATA episode 1


 Whulandary Herman as Renata

Renata menghela napas dalam. Pagi-pagi yang seharusnya menjadi semangat barunya, kini mendadak raib begitu saja. Selain karena mendung yang membungkus kota kembang, tapi juga pesan singkat dari kontak bernama Mumu seperti merebut paksa harinya. Ia mendengus kesal. 

Sudah tahu gue uts, masih aja disuruh kerja! Mendung lagi, hissh menyebalkan! 

Rutuk hati Renata malas. Mau tak mau, meski hujan akan segera turun, ia tetap paksakan untuk berangkat ke kampus. Ia belum cukup dikatakan tolol jika harus  mengulang lima kali mata kuliah berdosen killer itu. 

Tak ada yang berlebihan dari penampilan Renata pagi itu. Pergi kuliah hanya dengan tank top, jeans balel, sepatu flash rajut, dan kemeja kotak-kotak senada tanpa dikancingkan menjadi dandanan wajib perempuan tomboy itu. Rambutnya yang legam dan panjang terikat seenaknya dengan anak-anak rambut yang masih keluar dari ikatannya, membuat leher jenjang nya yang mulus itu ternodai dengan rambut-rambut kecil menjulur. Ia tak begitu memperhatikan penampilan, toh meskipun Renata kerap dikatakan anti make up tak seperti mahasiswi lain, namun kecantikan alami khas Indonesia tak akan luntur begitu saja. 

"Semoga nggak telat," doanya berbisik saat dengan tergesa, ia menaiki vixion hitamnya untuk segera bertolak ke kampus.

Satu hal yang membuat Renata terpaksa tetap kuliah meski ia sudah mendapatkan pekerjaan, adalah cita-citanya. Ya, meskipun ia harus susah payah membiayai hidup seorang diri tanpa orang tua, ia berusaha untuk bisa tetap bersekolah. Semacam sudah menjadi hal biasa, jika ia mandiri Sejak ia keluar dari panti asuhan dan mulai mencari uang sendiri, risiko itulah yang berani ia tanggung. 

"Mampus! Telat gue. Aaargh, ngulang lagi deh semester depan!" pekiknya jengkel sambil menatap pintu ruangan ujian yang telah terkunci dari dalam.

Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi, membuka gagang pintu dengan paksa pun tak memberikan hasil. Gedor-gedor? Ah, sepertinya itu merupakan keputusan yang terlalu bar-bar dan kurang sopan. Jadi yang bisa ia lukan hanyalah berjalan gontai, menerima kenyataan jika ia akan mengulang mata kuliah ini enam kali, dan jelas, ia marah kepada diri sendiri.

Mana mungkin kan karena gue cuma tidur kemaleman, oke ralat, kepagian, gue harus mengulang satu mata kuliah yang sama di semester depan. gue nggak habis pikir, apa nggak ada sedikit pun pengecualian bagi gue, mahasiswa yang tiap malam harus bekerja? 

Belum kelar Renata menyalurkan emosinya, pesan dari Mumu masuk lagi dengan sadis. 

Ini foto orangnya, ingat malam ini pukul 10.00 di cafe de cozy. Jangan Lupa!

Tanpa melihat foto yang masih buram dan berlingkaran di tengah pertanda loading gambar, ia memasukkan smartphone-nya kembali. Ia ingat jam pagi seperti ini, selalu ada hal yang lebih penting ia kerjakan daripada hanya terus berkutat dengan kerjaan. Ya, apalagi kalau bukan mendengarkan gesekan biola anak-anak seni musik di dekat kampusnya. Percaya atau tidak, gadis tomboy itu semacam sakaw  jika tak mendengar permainan biola anak-anak seni musik. 

Sebenarnya, kebiasaan itu bermula enam bulan lalu, ketika Renata secara tak sengaja mencuri dengar ada seseorang bermain biola di salah salah satu ruang kuliah anak musik. Ia yang anak sastra, dengan jarak kampus yang amat dekat, tak menampik jika suara biola itu mengusiknya. Ia begitu bergetar. Hatinya serasa diiris tipis tipis oleh gesekan senar yang terdengar pilu. Nada-nada kekecewaan, frustrasi, dan kekelaman hidup seperti sanggup dirasakan. Renata seperti tertarik magnet, mencari dan mendekati sumber suara. Ketika ia menatap ke arah pintu yang yang sedikit terbuka, ternyata hanya ada satu pria bertubuh tegap, dengan rambut ikal yang menjuntai sampai leher putihnya. Hidungnya yang runcing, rahangnya yang keras dan sempurna seperti membius Renata seketika. Bukan karena fisik lelaki itu yang terbilang tampan, namun alunan nada penuh penghayatan yang dimainkannya itu begitu menyengat kewarasannya. Saat itulah, ia gemar ke kampus seni musik untuk mendengarkan gesekan-gesekan biola. Tapi, lagu yang membius itu sudah tak pernah lagi ia dengar. Pun, lelaki bermata rapuh yang memainknnya. 

Langkah Renata tiba-tiba terhenti ketika ia hendak berjalan ke kampus seni musik untuk menikmati hobinya mencuri dengar. Namun, ia merasa seperti melupakan sesuatu yang penting.

 "O iya, gue belum pesen obat," bisiknya sambil merogoh kembali ponselnya di tas punggung neavy hijau lumutnya.

Ia kini dengan cekatan, mencari kontak whatsapp yang sudah berada di urutan terbawah. AZALEA. Wajar, Renata memang hanya menghubungi perempuan cantik itu sebulan sekali, ketika persediaan obat untuk ia bekerja ludes.

Untuk satu bulan, Lea. De cozy cafe, pukul 09.00 ya

Setelah pesan terkirim, ia tersenyum lega. Namun, sebelum menutup aplikasi whatsapp-nya, ia akhirnya tertarik juga untuk melihat foto yang dikirimkan Mumu untuk partner kerjanya malam ini. Dan dengan tanpa ekspektasi apa-apa dan rasa penasaran yang telah karam, ia pun menyentuh foto itu.

Astaga!!!

Betapa kagetnya Renata melihat foto lelaki tak asing lagi baginya. Pria yang sempat mengisi benaknya dan menjadi imajinasi setiap ia bercinta dengan para kliennya. Lelaki yang diam-diam ia cari setiap hari, yang diam-diam ia ingin temui, kini berada di daftar klien barunya. Tidak salah lagi. Ialah yang merajai hatinya selama ini,  hanya karena ia dapat kembali merasakan hidup dan mencercap pahit setelah mendengar setiap gesekan biolanya.

Ya, lelaki itu adalah violis yang Renata kagumi. Mungkin, juga ia cintai. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar