Whulandary Herman as Renata
Sudah tahu gue uts, masih aja disuruh kerja! Mendung lagi, hissh menyebalkan!
Rutuk hati Renata malas. Mau tak mau, meski hujan akan segera turun, ia tetap paksakan untuk berangkat ke kampus. Ia belum cukup dikatakan tolol jika harus mengulang lima kali mata kuliah berdosen killer itu.
Rutuk hati Renata malas. Mau tak mau, meski hujan akan segera turun, ia tetap paksakan untuk berangkat ke kampus. Ia belum cukup dikatakan tolol jika harus mengulang lima kali mata kuliah berdosen killer itu.
Tak ada yang berlebihan dari penampilan Renata pagi itu. Pergi kuliah hanya dengan tank top, jeans balel, sepatu flash rajut, dan kemeja kotak-kotak senada tanpa dikancingkan menjadi dandanan wajib perempuan tomboy itu. Rambutnya yang legam dan panjang terikat seenaknya dengan anak-anak rambut yang masih keluar dari ikatannya, membuat leher jenjang nya yang mulus itu ternodai dengan rambut-rambut kecil menjulur. Ia tak begitu memperhatikan penampilan, toh meskipun Renata kerap dikatakan anti make up tak seperti mahasiswi lain, namun kecantikan alami khas Indonesia tak akan luntur begitu saja.
"Semoga
nggak telat," doanya berbisik saat dengan tergesa, ia menaiki vixion hitamnya
untuk segera bertolak ke kampus.
Satu
hal yang membuat Renata terpaksa tetap kuliah meski ia sudah mendapatkan pekerjaan, adalah cita-citanya. Ya, meskipun ia harus susah payah membiayai hidup seorang diri tanpa orang tua, ia berusaha untuk
bisa tetap bersekolah. Semacam sudah menjadi hal biasa, jika ia mandiri Sejak ia keluar dari panti asuhan dan mulai
mencari uang sendiri, risiko itulah yang berani ia tanggung.
"Mampus! Telat gue. Aaargh, ngulang lagi deh semester depan!" pekiknya
jengkel sambil menatap pintu ruangan ujian yang telah terkunci dari dalam.
Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi, membuka gagang pintu dengan paksa pun tak memberikan hasil. Gedor-gedor? Ah, sepertinya itu merupakan keputusan yang terlalu bar-bar dan kurang sopan. Jadi yang bisa ia lukan hanyalah berjalan gontai, menerima kenyataan jika ia akan mengulang mata kuliah ini enam kali, dan jelas, ia marah kepada diri sendiri.
Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi, membuka gagang pintu dengan paksa pun tak memberikan hasil. Gedor-gedor? Ah, sepertinya itu merupakan keputusan yang terlalu bar-bar dan kurang sopan. Jadi yang bisa ia lukan hanyalah berjalan gontai, menerima kenyataan jika ia akan mengulang mata kuliah ini enam kali, dan jelas, ia marah kepada diri sendiri.
Mana mungkin kan karena gue cuma tidur
Belum kelar Renata menyalurkan emosinya, pesan dari Mumu masuk lagi dengan sadis.
Ini foto orangnya, ingat malam ini pukul 10.00 di cafe de cozy. Jangan Lupa!
Tanpa melihat foto yang masih buram dan berlingkaran di tengah pertanda loading gambar, ia memasukkan smartphone-nya
kembali. Ia ingat jam pagi seperti ini, selalu ada hal yang lebih
penting ia kerjakan daripada hanya terus berkutat dengan kerjaan. Ya,
apalagi kalau bukan mendengarkan gesekan biola anak-anak seni musik di
dekat kampusnya. Percaya atau tidak, gadis tomboy itu semacam sakaw
jika tak mendengar permainan biola anak-anak seni musik.
Sebenarnya, kebiasaan
itu bermula enam bulan lalu, ketika Renata secara tak sengaja mencuri dengar ada
seseorang bermain biola di salah salah satu ruang kuliah anak musik. Ia
yang anak sastra, dengan jarak kampus yang amat dekat, tak menampik jika
suara biola itu mengusiknya. Ia begitu bergetar. Hatinya serasa diiris
tipis tipis oleh gesekan senar yang terdengar pilu. Nada-nada
kekecewaan, frustrasi, dan kekelaman hidup seperti sanggup dirasakan.
Renata seperti tertarik magnet, mencari dan mendekati sumber suara. Ketika ia menatap ke arah pintu yang yang sedikit terbuka, ternyata hanya
ada satu pria bertubuh tegap, dengan rambut ikal yang menjuntai sampai
leher putihnya. Hidungnya yang runcing, rahangnya yang keras dan
sempurna seperti membius Renata seketika. Bukan karena fisik lelaki itu
yang terbilang tampan, namun alunan nada penuh penghayatan yang
dimainkannya itu begitu menyengat kewarasannya. Saat itulah, ia gemar ke
kampus seni musik untuk mendengarkan gesekan-gesekan biola. Tapi, lagu
yang membius itu sudah tak pernah lagi ia dengar. Pun, lelaki bermata
rapuh yang memainknnya.
Langkah
Renata tiba-tiba terhenti ketika ia hendak berjalan ke kampus seni
musik untuk menikmati hobinya mencuri dengar. Namun, ia merasa seperti melupakan sesuatu yang penting.
"O iya, gue belum pesen obat," bisiknya sambil merogoh kembali ponselnya di tas punggung neavy hijau lumutnya.
Ia kini dengan cekatan, mencari kontak whatsapp yang sudah berada di urutan terbawah. AZALEA. Wajar, Renata memang hanya menghubungi perempuan cantik itu sebulan sekali, ketika persediaan obat untuk ia bekerja ludes.
"O iya, gue belum pesen obat," bisiknya sambil merogoh kembali ponselnya di tas punggung neavy hijau lumutnya.
Ia kini dengan cekatan, mencari kontak whatsapp yang sudah berada di urutan terbawah. AZALEA. Wajar, Renata memang hanya menghubungi perempuan cantik itu sebulan sekali, ketika persediaan obat untuk ia bekerja ludes.
Untuk satu bulan, Lea. De cozy cafe, pukul 09.00 ya
Setelah pesan terkirim, ia tersenyum lega. Namun, sebelum menutup aplikasi whatsapp-nya,
ia akhirnya tertarik juga untuk melihat foto yang dikirimkan Mumu untuk
partner kerjanya malam ini. Dan dengan tanpa ekspektasi apa-apa dan
rasa penasaran yang telah karam, ia pun menyentuh foto itu.
Astaga!!!
Astaga!!!
Betapa
kagetnya Renata melihat foto lelaki tak asing lagi baginya. Pria yang sempat
mengisi benaknya dan menjadi imajinasi setiap ia bercinta dengan para
kliennya. Lelaki yang diam-diam ia cari setiap hari, yang diam-diam ia
ingin temui, kini berada di daftar klien barunya. Tidak salah lagi. Ialah yang merajai hatinya selama ini, hanya karena ia dapat kembali
merasakan hidup dan mencercap pahit setelah mendengar setiap gesekan biolanya.
Ya, lelaki itu adalah violis yang Renata kagumi. Mungkin, juga ia cintai.
Ya, lelaki itu adalah violis yang Renata kagumi. Mungkin, juga ia cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar