Whulandary Herman sebagai Renata
Coba bayangkan, jika kau harus menemui
orang yang kau cintai di hidupmu dengan sebuah topeng menjijikkan, rasanya
ingin tetap di koordinat ini saja, tetap tak bergerak.
Ya,
Renata belum sanggup dikatakan perempuan malam oleh Alfa, itulah alasannya
kenapa ia ragu melangkahkan kakinya ke pintu Cafe. Oke, bagi klien lelaki
hidung belang yang haus jamahan perempuan, ia tak peduli. Tapi, ini Alfa.
Lelaki yang sudah menarik perhatiannya lama. Mana bisa ia menaruhkan harga
dirinya begitu rendah?
“Tapi,
mana ada juga perempuan sepertiku masih memiliki harga diri?” batinnya meracau.
Mencoba percaya diri, namun ditumbangkan lagi oleh pendapatnya sendiri.
Padahal,
Renta selalu bermimpi, bisa bertemu dan mengenal Alfa seperti gadis lainnya.
Mungkin adegan tabrakan, ketinggalan ponsel, atau pura-pura ingin latihan biola—ah,
kalau mimpi itu benar adanya, lalu berapa topeng lagi yang harus ia kenakan
hanya untuk zat bernama cinta itu?
“Huh! Tak ada gunanya membahas cinta.
Buatmu itu, cinta hanya fatamorgana. Sepertinya takdir telah memilihmu untuk
menyendiri selamanya. Jangan terlalu berharap pada cinta, Re. Cinta tak bisa
membuatmu kenyang!” sisi jiwa Renata
membisik penuh provokasi melemparkannya ke titik kakinya yang menapak tegak.
Cafe De Cozy 11.00 am
Tak
perlu mencari dan mengedarkan pandangan untuk seseorang yang selalu hadir dalam
imajinasi. Semua raut dan lekuk tubuhnya sudah ia kenali. Bahkan aroma yang
selalu memanjakan syaraf kranialnya. Bukan berlebihan, Renata memang cukup
lihai dalam menyimpan memori visual. Jadi, jika sekarang langkahnya penuh percaya
diri berjalan ke arah Alfa yang sedang duduk di salah satu kursi, itu sudah tak
begitu mencengangkan.
Jas
hitam, kemeja putih, dan—Oke, Renata belum sempat menunduk hingga celananya—membalut
Alfa dengan rapi dan sopan. Ya, meski masih terlihat sedang resah menunggunya.
Ia tahu, jika warna favorit pria bertubuh tegap itu putih. Selalu melihat aksinya
ketika di kampuslah, jawaban kenapa ia hafal dengan kemeja yang selalu dipakai
violis ini.
Renata
duduk di depan Alfa tanpa sedikit pun terlihat gugup. Ia sengaja tak memakai
topeng. Ya, entah kenapa ia ingin menjadi diri sendiri, siang itu.
“Emm..., halo. Aku Alfa” ucap Alfa
dengan air muka kakunya. Pemuda itu tak cukup berani memandang mata si gadis.
Kepalanya tertunduk.
Melihat
Alfa tertunduk sperti itu, membuat Renata tak bisa berbuat apa-apa. Seperti ada
syaraf reseptornya yang putus hari itu juga. Ya, berkali-kali ia menyumpahi diri
sendiri kenapa hari ini, bisa-bisanya ia memakai perasaan dalam berbisnis.
“Kamu kuat Re! Jangan terbawa suasana!
Ia tak pernah menggubrismu, kenapa kamu harus memikirkannya sampai seperti
orang gila!” lagi, si iblis dalam hatinya mulai berseloroh mencari perhatian
Renata.
###
Senyap.
Hanya derung AC yang terdengar lembut menawarkan sebuah desahan mesin yang
dengan sekuat tenaga berusaha mendinginkan ruangan yang bagi Renata malah
mendadak panas. Ruangan luas VIP cafe yang dimiliki de Cozy berada di lantai
delapan dari lantai dasar. Terlihat private dan tersembunyi memang, dengan kode
yang sudah Renata pegang dari admin Cafe, ia berhak menjadi pemilik satu kamar
private hari itu. Renata cukup menyanjung pemilik bisnis cafe bergaya Eropa
klasik ini. Selain tempatnya sangat nyaman dan fasilitas lengkap, rahasia dan
privasi pelanggan benar-benar diutamakan. Mewah dan berkelas, dua kata itu sepertinya
sudah dapat menjelaskan siapa saja yang bisa menginjakkan kakinya di keramik
legam mengkilap ini.
Renata
masuk dalam kebisuan yang beku. Tak ada dialog seperti yang pernah ia lihat di
film-film romantis yang sialnya kenapa ia sangat harapkan. Siang itu, ia ingin
sekali berbincang apa saja kepada Alfa. Bukan hanya hubungan badan. Tapi,
celoteh tentang apa pun ia sudah sangat bahagia. Namun, sepertinya keinginannya
harus tetap terkubur, melihat pria berambut gondrong itu tetap diam bergeming
di sisi ranjang. Padahal, Renata biasanya tak peduli dengan hal-hal remeh
seperti ini. Malah, semakin cepat klien terpuaskan, semakin ia lega dan ingin
cepat-cepat pulang. Namun, hari ini lain! Ia seperti kesurupan pecinta novel
drama atau film romantis yang menginginkan sebuah ucapan mesra. Atau
setidaknya, kata hai, yuk, atau sudah siap? Dari lawan mainnya. Ya, kalau itu
bisa disebut juga salah satu kata-kata mesra.
Tapi,
Renata benar-benar tersiksa dengan kebekuan itu.
“Dan sekarang kau malah terlihat takut
untuk kudekati? Semengerikankah itu aku di hadapanmu, Alfa?” batin Renata
meronta ketika melihat Alfa malah duduk di samping ranjang dengan menautkan
kedua tangannya yang mungkin telah banjir keringat.
Renata
tak ingin menunggu lama. Ia pun mendekat. Berjalan perlahan. Kaki jenjangnya
yang mulus akhirnya tergambar ketika dress mininya terlepas dari tubuh. Payudaranya
masih tertutup bra merah darah. Ia berjalan dengan hanya pakain dalamnya yang
serasi dengan penutup dadanya. Ia pun duduk di samping Alfa yang masih belum
juga berganti posisi. Renata melihat Alfa tetap menunduk, meski aroma dior
harusnya telah sampai ke bulu hidungnya dan membuatnya bergairah.
Melihat
tidak ada respon dari Alfa, ingin rasanya Renata mengakhiri pekerjaannya saja. Ia
lebih bahagia sebenarnya, membiarkan Alfa tetap menjadi Alfa yang tak
tersentuh, tak terjamah, karena—
“Aku tak bisa melakukan ini,” batinnya
mengambil keputusan. Ia pun beranjak, melangkah.
Namun,
dengan tiba-tiba lengan panjangnya tertahan. Tak ada satu menit, tangannya
sudah terkunci oleh genggaman pria tampan di sampingnya. Jantung Renata pun seakan
meloncat hilang. Ia merasakan ada getaran aneh yang menyusup dadanya. Nyeri
namun ia menikmati. Sentuhan pertama yang membuat ia seperti gila. Genggaman dingin
dan basah Alfa menahannya, membuatnya ia tak ingin pergi lagi.
SIAL!!!
Renata
tak bisa mengontrol dirinya lagi saat Alfa menariknya hingga hampir tidak ada
jarak dengan tubuh mereka. Kini mata mereka lama beradu. Renata ingin lepas
dari penjara tatapan dalam Alfa, namun sia-sia. Mata hitamnya menusuk iris
Renata yang kini melebar. Tanpa aba-aba, sentuhan bibir lembut dirasakan Retina.
Dari kening, mata, pipi, dan bermuara pada bibir lembutnya yang telah tersapu lipglossh rasa jeruk. Mereka saling mengecup
dan Renata merasakan ia benar-benar dirinya. Jiwanya. Ah, sepertinya ia harus bersyukur,
kehabisan obat hari ini.
Kini
giliran Renata yang bergerilya. Melihat Alfa tersenyum di dekatnya, seakan
pekerjaannya tak lagi ia hiraukan. Mungkin, ia rela tak dibayar. Atau dicap
sebagai pelacur paling murah sekali pun. Ia tak peduli lagi, baginya kini,
memenuhi hasrat Alfa adalah fokusnya.
Ia
berusaha mengecup setiap lembaran kulit putih Alfa, memberikan sensasi
kelembutan dari bibir ranumnya yang kini basah. Dari paha, ia terus merangkak
naik. Tiap inchi ranah yang ia basahi terdengar erangan kenikmatan dari Alfa.
Ia semakin terlecuti. Kenikmatan Alfa adalah kebahagiaannya juga. Ia rela,
terus mengendus, mencium, bahkan menjilat, seluruh tubuh Alfa yang mulai
menguarkan aroma keringat. Kaki, perut, dada, leher, bibir, hingga sampailah ia
harus mencumbu pusat kenikmatan pria itu. Dengan hati-hati dan sangat lembut ia
memperlakukannya seperti harta yang sangat berharga. Ia mulai melakukannya.
Seperti yang sudah ia lakukan pada kulit lainnya. Ia semakin cepat, saat
erangan bahkan teriakan Alfa mulai terasa mencambuknya. Ia pun berhasarat.
Namun tiba-tiba—
Ia
terbalik dengan kasar. Tubuhnya terjuntai keras di ranjang. Renata mendesah kesakitan. Ia
menjerit saat tusukan kasar menembus jiwanya. Hentakan demi hentakan berima
terasa mengoyakkan tubuhnya. Ia mendesah parau. Merasa diperkosa namun juga
menikmatinya. Ia terus melawan, mencoba mencengkeram kuat Alfa yang seperti
kuda. Ia tentu tak membiarkan kalah begitu saja. Ia terus melawan, dengan
gerakan pinggul yang semakin cepat. Seperti sebuah gerakan tarian bernada cepat,
Renata mencoba menyelaraskan apa yang Alfa mulai.
Dan
semua berakhir saat dirinya dan Alfa melepaskan jerit terkahir setelah helaan
napas cepatnya. Mereka tersungkur. Lemah dan hanya terbaring.
“Dasar gadis murahan! Berapa banyak laki-laki yang menidurimu!” ucapnya kasar.
Renata diam. Mendengar kata kasar dari Alfa yang
seharusnya tak perlu ia dengarkan. Puluhan ucapan itu sudah sering keluar masuk
lewat telinganya. Tapi, kenapa kali ini
bukan hanya masuk, tapi menancap perih di ulu hatinya.
Ia menagis dalam rupiah yang menyelimuti tubuhnya yang
kedinginan itu. Ia semakin menggigil, tubuhnya terasa tergoncang, entah kenapa
ucapan Alfa seperti membunuh dirinya detik itu juga. Melemparkan dirinya ke
jurang nista yang menjijikkan. Ya, Renata sadar, jika dirinya hanyalah sampah.
Dirinya tak layak untuk zat yang teramat suci bernama cinta. Ia terlalu jauh.
Zat itu terlalu agung. Memandangnya saja ia tak sanggup, apalagi merengkuhnya.
“Mana ada
cinta yang layak untuk oarang kotor sepertiku? Kau benar Alfa, aku hanya
binatang jalang yang menjijikkan!” kata Renata dalam isakan tangis.
Ia tersadar, bahwa dirinya teramat kotor untuk sekadar
mencintai. Tapi, bukan Renata namanya jika ia tak mencobanya dulu. Melihat Alfa
sudah hampir selesai memakai celana dan jasnya, ia menghapus air matanya dan
berteriak menantang.
“Hei lelaki
penakut yang sok! Cuma itu doang kemampuan ranjangmu?”