Jumat, 05 Juni 2015

RENATA 2




 Whulandary Herman sebagai Renata

Coba bayangkan, jika kau harus menemui orang yang kau cintai di hidupmu dengan sebuah topeng menjijikkan, rasanya ingin tetap di koordinat ini saja, tetap tak bergerak. 

Ya, Renata belum sanggup dikatakan perempuan malam oleh Alfa, itulah alasannya kenapa ia ragu melangkahkan kakinya ke pintu Cafe. Oke, bagi klien lelaki hidung belang yang haus jamahan perempuan, ia tak peduli. Tapi, ini Alfa. Lelaki yang sudah menarik perhatiannya lama. Mana bisa ia menaruhkan harga dirinya begitu rendah? 

“Tapi, mana ada juga perempuan sepertiku masih memiliki harga diri?” batinnya meracau. Mencoba percaya diri, namun ditumbangkan lagi oleh pendapatnya sendiri.

Padahal, Renta selalu bermimpi, bisa bertemu dan mengenal Alfa seperti gadis lainnya. Mungkin adegan tabrakan, ketinggalan ponsel, atau pura-pura ingin latihan biola—ah, kalau mimpi itu benar adanya, lalu berapa topeng lagi yang harus ia kenakan hanya untuk zat bernama cinta itu?

“Huh! Tak ada gunanya membahas cinta. Buatmu itu, cinta hanya fatamorgana. Sepertinya takdir telah memilihmu untuk menyendiri selamanya. Jangan terlalu berharap pada cinta, Re. Cinta tak bisa membuatmu kenyang!” sisi jiwa Renata membisik penuh provokasi melemparkannya ke titik kakinya yang menapak tegak.

Cafe De Cozy 11.00 am
Tak perlu mencari dan mengedarkan pandangan untuk seseorang yang selalu hadir dalam imajinasi. Semua raut dan lekuk tubuhnya sudah ia kenali. Bahkan aroma yang selalu memanjakan syaraf kranialnya. Bukan berlebihan, Renata memang cukup lihai dalam menyimpan memori visual. Jadi, jika sekarang langkahnya penuh percaya diri berjalan ke arah Alfa yang sedang duduk di salah satu kursi, itu sudah tak begitu mencengangkan.

Jas hitam, kemeja putih, dan—Oke, Renata belum sempat menunduk hingga celananya—membalut Alfa dengan rapi dan sopan. Ya, meski masih terlihat sedang resah menunggunya. Ia tahu, jika warna favorit pria bertubuh tegap itu putih. Selalu melihat aksinya ketika di kampuslah, jawaban kenapa ia hafal dengan kemeja yang selalu dipakai violis ini.

Renata duduk di depan Alfa tanpa sedikit pun terlihat gugup. Ia sengaja tak memakai topeng. Ya, entah kenapa ia ingin menjadi diri sendiri, siang itu.

“Emm..., halo. Aku Alfa” ucap Alfa dengan air muka kakunya. Pemuda itu tak cukup berani memandang mata si gadis. Kepalanya tertunduk. 

Melihat Alfa tertunduk sperti itu, membuat Renata tak bisa berbuat apa-apa. Seperti ada syaraf reseptornya yang putus hari itu juga. Ya, berkali-kali ia menyumpahi diri sendiri kenapa hari ini, bisa-bisanya ia memakai perasaan dalam berbisnis.

“Kamu kuat Re! Jangan terbawa suasana! Ia tak pernah menggubrismu, kenapa kamu harus memikirkannya sampai seperti orang gila!” lagi, si iblis dalam hatinya mulai berseloroh mencari perhatian Renata.

###

Senyap. Hanya derung AC yang terdengar lembut menawarkan sebuah desahan mesin yang dengan sekuat tenaga berusaha mendinginkan ruangan yang bagi Renata malah mendadak panas. Ruangan luas VIP cafe yang dimiliki de Cozy berada di lantai delapan dari lantai dasar. Terlihat private dan tersembunyi memang, dengan kode yang sudah Renata pegang dari admin Cafe, ia berhak menjadi pemilik satu kamar private hari itu. Renata cukup menyanjung pemilik bisnis cafe bergaya Eropa klasik ini. Selain tempatnya sangat nyaman dan fasilitas lengkap, rahasia dan privasi pelanggan benar-benar diutamakan. Mewah dan berkelas, dua kata itu sepertinya sudah dapat menjelaskan siapa saja yang bisa menginjakkan kakinya di keramik legam mengkilap ini.

Renata masuk dalam kebisuan yang beku. Tak ada dialog seperti yang pernah ia lihat di film-film romantis yang sialnya kenapa ia sangat harapkan. Siang itu, ia ingin sekali berbincang apa saja kepada Alfa. Bukan hanya hubungan badan. Tapi, celoteh tentang apa pun ia sudah sangat bahagia. Namun, sepertinya keinginannya harus tetap terkubur, melihat pria berambut gondrong itu tetap diam bergeming di sisi ranjang. Padahal, Renata biasanya tak peduli dengan hal-hal remeh seperti ini. Malah, semakin cepat klien terpuaskan, semakin ia lega dan ingin cepat-cepat pulang. Namun, hari ini lain! Ia seperti kesurupan pecinta novel drama atau film romantis yang menginginkan sebuah ucapan mesra. Atau setidaknya, kata hai, yuk, atau sudah siap? Dari lawan mainnya. Ya, kalau itu bisa disebut juga salah satu kata-kata mesra.

Tapi, Renata benar-benar tersiksa dengan kebekuan itu.

“Dan sekarang kau malah terlihat takut untuk kudekati? Semengerikankah itu aku di hadapanmu, Alfa?” batin Renata meronta ketika melihat Alfa malah duduk di samping ranjang dengan menautkan kedua tangannya yang mungkin telah banjir keringat. 

Renata tak ingin menunggu lama. Ia pun mendekat. Berjalan perlahan. Kaki jenjangnya yang mulus akhirnya tergambar ketika dress mininya terlepas dari tubuh. Payudaranya masih tertutup bra merah darah. Ia berjalan dengan hanya pakain dalamnya yang serasi dengan penutup dadanya. Ia pun duduk di samping Alfa yang masih belum juga berganti posisi. Renata melihat Alfa tetap menunduk, meski aroma dior harusnya telah sampai ke bulu hidungnya dan membuatnya bergairah. 

Melihat tidak ada respon dari Alfa, ingin rasanya Renata mengakhiri pekerjaannya saja. Ia lebih bahagia sebenarnya, membiarkan Alfa tetap menjadi Alfa yang tak tersentuh, tak terjamah, karena—

“Aku tak bisa melakukan ini,” batinnya mengambil keputusan. Ia pun beranjak, melangkah.

Namun, dengan tiba-tiba lengan panjangnya tertahan. Tak ada satu menit, tangannya sudah terkunci oleh genggaman pria tampan di sampingnya. Jantung Renata pun seakan meloncat hilang. Ia merasakan ada getaran aneh yang menyusup dadanya. Nyeri namun ia menikmati. Sentuhan pertama yang membuat ia seperti gila. Genggaman dingin dan basah Alfa menahannya, membuatnya ia tak ingin pergi lagi.

SIAL!!!

Renata tak bisa mengontrol dirinya lagi saat Alfa menariknya hingga hampir tidak ada jarak dengan tubuh mereka. Kini mata mereka lama beradu. Renata ingin lepas dari penjara tatapan dalam Alfa, namun sia-sia. Mata hitamnya menusuk iris Renata yang kini melebar. Tanpa aba-aba, sentuhan bibir lembut dirasakan Retina. Dari kening, mata, pipi, dan bermuara pada bibir lembutnya yang telah tersapu lipglossh rasa jeruk. Mereka saling mengecup dan Renata merasakan ia benar-benar dirinya. Jiwanya. Ah, sepertinya ia harus bersyukur, kehabisan obat hari ini.

Kini giliran Renata yang bergerilya. Melihat Alfa tersenyum di dekatnya, seakan pekerjaannya tak lagi ia hiraukan. Mungkin, ia rela tak dibayar. Atau dicap sebagai pelacur paling murah sekali pun. Ia tak peduli lagi, baginya kini, memenuhi hasrat Alfa adalah fokusnya.

Ia berusaha mengecup setiap lembaran kulit putih Alfa, memberikan sensasi kelembutan dari bibir ranumnya yang kini basah. Dari paha, ia terus merangkak naik. Tiap inchi ranah yang ia basahi terdengar erangan kenikmatan dari Alfa. Ia semakin terlecuti. Kenikmatan Alfa adalah kebahagiaannya juga. Ia rela, terus mengendus, mencium, bahkan menjilat, seluruh tubuh Alfa yang mulai menguarkan aroma keringat. Kaki, perut, dada, leher, bibir, hingga sampailah ia harus mencumbu pusat kenikmatan pria itu. Dengan hati-hati dan sangat lembut ia memperlakukannya seperti harta yang sangat berharga. Ia mulai melakukannya. Seperti yang sudah ia lakukan pada kulit lainnya. Ia semakin cepat, saat erangan bahkan teriakan Alfa mulai terasa mencambuknya. Ia pun berhasarat. Namun tiba-tiba—

Ia terbalik dengan kasar. Tubuhnya terjuntai keras di  ranjang. Renata mendesah kesakitan. Ia menjerit saat tusukan kasar menembus jiwanya. Hentakan demi hentakan berima terasa mengoyakkan tubuhnya. Ia mendesah parau. Merasa diperkosa namun juga menikmatinya. Ia terus melawan, mencoba mencengkeram kuat Alfa yang seperti kuda. Ia tentu tak membiarkan kalah begitu saja. Ia terus melawan, dengan gerakan pinggul yang semakin cepat. Seperti sebuah gerakan tarian bernada cepat, Renata mencoba menyelaraskan apa yang Alfa mulai. 

Dan semua berakhir saat dirinya dan Alfa melepaskan jerit terkahir setelah helaan napas cepatnya. Mereka tersungkur. Lemah dan hanya terbaring.

“Dasar gadis murahan! Berapa banyak laki-laki yang menidurimu!”  ucapnya kasar. 

Renata diam. Mendengar kata kasar dari Alfa yang seharusnya tak perlu ia dengarkan. Puluhan ucapan itu sudah sering keluar masuk lewat telinganya.  Tapi, kenapa kali ini bukan hanya masuk, tapi menancap perih di ulu hatinya. 

Ia menagis dalam rupiah yang menyelimuti tubuhnya yang kedinginan itu. Ia semakin menggigil, tubuhnya terasa tergoncang, entah kenapa ucapan Alfa seperti membunuh dirinya detik itu juga. Melemparkan dirinya ke jurang nista yang menjijikkan. Ya, Renata sadar, jika dirinya hanyalah sampah. Dirinya tak layak untuk zat yang teramat suci bernama cinta. Ia terlalu jauh. Zat itu terlalu agung. Memandangnya saja ia tak sanggup, apalagi merengkuhnya.

“Mana ada cinta yang layak untuk oarang kotor sepertiku? Kau benar Alfa, aku hanya binatang jalang yang menjijikkan!” kata Renata dalam isakan tangis.

Ia tersadar, bahwa dirinya teramat kotor untuk sekadar mencintai. Tapi, bukan Renata namanya jika ia tak mencobanya dulu. Melihat Alfa sudah hampir selesai memakai celana dan jasnya, ia menghapus air matanya dan berteriak menantang.

“Hei lelaki penakut yang sok! Cuma itu doang kemampuan ranjangmu?”

Rabu, 20 Mei 2015

Kadryan Azka Episode 1


Fedi Nuril as Kadryan Azka
Ketika matahari terbenam, aku... aku ingin menjadi bulan untuk menerangi malammu...   

Layar komputer itu tampak menampilkan sebuah animasi bergambar seorang laki-laki dan seorang perempuan di bawah rembulan dengan gerakan yang sangat cepat. Kadri menghela napas panjang. Kedua korneanya masih menatap tajam gambar animasi yang dibuatnya hanya dalam satu jam itu.
“Kadri, gambar animasi seperti ini sekarang sudah enggak laku. Siapa yang mau download? Begini, kita ketemu saja di cafe de Cozy siang ini, saya perlu ketemu langsung denganmu. Saya punya ide bagus.”
Kata-kata Andre—founder website Animindo—menguar begitu saja dari benak laki-laki bermata sayu itu. Kadri tidak pernah suka keluar rumah. Sudah terhitung tiga tahun dia tidak keluar dari rumah kecuali ke minimarket pada jam tiga dini hari untuk membeli keperluan hidupnya. Hanya itu. Selebihnya, dia menghabiskan waktu untuk berada di depan layar komputer, berkencan dengan animasi-animasi buatannya sendiri.
***
Cafe de Cozy
13.30 WIB
Laki-laki berambut gondrong, memakai kacamata, memakai kemeja putih, dan duduk di meja bernomor 17. Kadri terus saja mengingat ciri-ciri yang diberikan Andre pagi tadi. Laki-laki bertubuh kurus itu memang belum pernah bertemu langsung dengan Andre. Jika bukan karena pekerjaan, Kadri tidak akan pernah ingin bertemu dengan Andre, bahkan harus masuk ke dalam cafe yang penuh dengan orang. Dia benci keramaian. Dia benci suara-suara riuh rendah itu. Dia benci suara-suara musik yang sama sekali tidak dia kenal itu, yang menurutnya hanya menganggu gendang telinga.
Meja nomor 17, meja nomor 17, meja nomor 17....
Kadri terus merapalkan kalimat itu dalam hati seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Deg! Di meja nomor 12, dia melihat seseorang yang dia kenal. Audrick, teman SMP-nya. Tatapan mata Kadri terhenti pada wajah tampan itu. Apakah dia perlu menyapanya? Atau dia pura-pura tidak melihatnya saja? Pilihan kedua sepertinya lebih tepat. Toh, Audrick sedang sibuk berbincang dengan seorang gadis yang duduk berseberangan dengannya.
Setelah menemukan meja bernomor 17, Kadri langsung melihat sosok yang sesuai dengan ciri-ciri yang diberikan Andre. Laki-laki itu segera berjalan menghampirinya.
“Mas Andre?” tanya Kadri sambil mengulurkan tangannya.
Sosok berkumis itu tersenyum dan menjabat tangan Kadri. “Kadri, ya?”
Kadri mengangguk sopan. Setelah menarik kursi yang berada di sampingnya, dia segera duduk berhadapan dengan Andre.
“Begini, kita langsung to the point aja, saya satu jam lagi ada meeting.”
***
Sudah setengah jam Kadri terdiam. Minuman yang dipesannya sama sekali belum dia icip setetes pun. Andre yang tadi duduk di depannya kini sudah lenyap ditelan keramaian.
Mata Kadri terpaut pada seorang gadis berambut panjang yang duduk di meja nomor 14. Gadis cantik berambut panjang itu terlihat mengaduk-aduk minumannya dengan wajah tanpa ekspresi.
“Tapi, Mas... saya...”
“Kadri, itu ide yang sangat fantastis! Astaga! Selama ini kamu ngapain aja belum pernah nonton bokep?”
“....”
“Pokoknya, saya mau kamu bikin game ini jadi semacam hentai. Kalau kamu belum pernah lihat orang telanjang, ya coba kamu fantasiin siapa gitu. Atau... itu tuh yang di meja nomor 14. Yang seksi itu. Bayangin kamu tidur sama dia... terus bikin game-nya!”
Jantung Kadri berdetak lebih kencang dari biasanya. Berkali-kali Kadri mencoba membayangkan gadis itu tanpa busana, tapi dia selalu gagal. Dia tidak ada bayangan sama sekali. Sepersekian detik kemudian, mata Kadri bertemu dengan mata gadis itu.
Dan bodohnya, Kadri baru sadar. Gadis itu bernama Renata... adik kelasnya ketika SD.




Audrick Widjaja Part 1

Adipati Dolken as Audrick Widjaja



                .Seseorang telentang sendirian di atas tempat tidurnya. Matanya memicing tapi tak sedang tidur, apalagi mendengkur. Jemari tangan kiri secara bergantian menari-nari, mengetuk-ngetuk tabung gitar Ibanez yang memang berada di sebelah kirinya sedari tadi. Hanya jika yang tahu, lelaki berambut ikal sebahu itu pasti sedang memikirkan sesuatu. Kebiasaan yang hampir setiap hari dilakukan oleh seorang Audrick Widjaja.
              Sebetulnya, ia sudah bosan dengan semua keadaan yang ada di sekitarnya. Orang-orang pandai seakan tampak dungu jika di hadapan orang yang lugu. Apalagi kakaknya, Alfa Widjaja. Bagaimana mungkin dia yang berusia tiga tahun di atasnya belum pernah memiliki tambatan jiwa. Esensinya, dosen seni sudah pasti banyak penggemarnya. Ataukah kakak semata wayangnya itu benar-benar bodoh? Hingga tak ada satu pun wanita yang terkecoh. Ah, Alfa memang pantas dicemooh.
            Audrick bangkit dari pembaringan sambil membuka matanya. Di depannya ada sebuah cermin yang selalu pintar mengatakan hal yang benar. Ditatapnya mirat itu dengan saksama, kulit putih dan hidung mancungnya memang tak jauh berbeda dengan Alfa. Hanya yang membedakan adalah bibir mereka berdua: bibir penghasut dan bibir yang penuh kerut. Pastilah Alfa tidak pernah berciuman.
            Lelaki yang berusia dua puluh empat tahun itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya memandang ke depan, tapi pikirannya jauh ke kahyangan.
            Cih. Apa yang ada dibenak Alfa sebenarnya? Mau-maunya dia melumuri hidupnya yang suci dengan segenggam tahi. Semoga ia baik-baik saja dengan perempuan setan yang diajaknya kencan.
***
            De Cozi Cafe, pukul 12.40

Jujur aku mencintai Tuhan karena di antara fajar dan senja
Maka jika mereka berdua memang telah raib dimakan era,
Atau mataku sudah tak bisa melihatnya,
Dan barangkali hatiku tak lagi bisa merasakan kedamaiannya,
Maka aku tak akan lagi bisa mencintai Tuhan Sang Penguasa 

Andai Tuhan tak menciptakan fajar dan senja
Maka aku tak akan mencintaiNya
Bahkan ketika mataku sudah mulai jemu,
Dan boleh jadi kalbu juga berseteru,
Maka bait pertama dan ke dua adalah hal yang berbeda

           
Audrick menghentikan pucuk pena yang sejak tadi menggores notes birunya. Ini adalah puisi ke-321 yang pernah dibuatnya sejak ia menginjakkan kaki di dunia. Tak ada obsesi apa-apa selain tulisannya berubah jadi nyata. Impian yang sederhana, membuat puisinya bisa bergerak secara visual atau digital. Yang bisa menari-nari, ke sana-kemari, berwarna-warni.
Mendadak, Audrick teringat akan sosok Kadri yang tak lain adalah teman sebangkunya semasa SMP. Meski hanya setahun duduk bersebelahan, Kadri adalah satu-satunya orang yang mampu membuat Audrick tercengang. Meskipun rautnya tak pernah riang, tapi matanya selalu jauh menerawang setiap kali bibirnya mengoceh secara gamblang tentang harapannya menjadi pelukis senja menjelang petang. Katanya, terbenamnya matahari mirip dengan hidupnya. Audrick tak pernah mengerti hingga detik ini.
Lelaki yang lebih sering dipanggil "Od" oleh Alfa mengangkat lengan kanan sambil melihat arloji Rolex berwarna emasnya. Jam menunjukkan pukul 13.01.
Cih. Lewat satu menit. Menunggu orang tak jelas hanyalah semacam menanti negeri ini melunasi hutang-hutangnya. Keduanya nggak ada yang penting bagiku.

Senin, 18 Mei 2015

Diandra Sanne Part 1



...Wahyu yang bekerja di sebuah restoran tidak menampik dirinya anggota geng motor Brigez. Pil Riklona dibelinya dari sesama anggota. Alasan dirinya menggunakan barang itu demi menimbulkan rasa berani. Akibat perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 62 UU No 5/1997 tentang Psikotropika yang ancaman hukumannya lima tahun penjara. (DNA) 

Suara ketukan keyboard yang sedari tadi memenuhi seluruh ruangan, bersaing dengan puluhan suara sejenis, berkejar-kejaran dengan jarum jam yang hampir berganti hari, akhirnya berhenti. Tidak semuanya berhenti serentak, paling tidak, berhenti di meja ini. Meja yang tetap rapi meski deadline hampir setiap hari membuat banyak orang di ruangan ini kocar-kacir. Meja yang dimiliki oleh perempuan dengan rambut ikal hitam panjang yang selalu diikat kuda karena tuntutan pekerjaaan. Profesi mereka tidak membiarkan wanita bercantik-cantik dengan rambut terurai panjang yang merepotkan. Helaan nafas terdengar pelan dari si empunya meja.

Akhirnya selesai juga.

Diandra Sanne. Jurnalis yang sangat mencintai pekerjaannya. Malam-malam seperti ini selalu dinantinya seperti seorang kekasih. Baginya, ruangan ini adalah peraduan, suara ketikan yang beradu dengan tempo yang berbeda-beda adalah desahan yang membuatnya semakin bergairah, hingga dia orgasme di ketikan kalimat terakhir. Sangat menyenangkan rasanya mencintai pekerjaan yang awalnya dipilihnya karena sebuah kemarahan. Tapi malam ini tentu akan berbeda sehingga ia biarkan  matanya terus menatap beberapa halaman ketikan yang akan segera naik cetak untuk muncul sebagai headline di Berita Jabar setelah melalui proses editing dan layouting. Selepas malam ini, dia tentu akan merasa kehilangan semua rutinitas yang telah dilakukannya bertahun-tahun belakangan. Pandangannya berhenti di inisial nama yang selalu diselipkan di akhir berita yang ditulisnya. DNA.

Mungkin, besok adalah hari terakhir kemunculan DNA. Setelah itu, untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan, aku harus melakukan tugas baru. Bila lancar, bukan hanya tiga huruf itu yang akan muncul menjadi headline, tapi juga nama lengkapku. Bila gagal, bisa jadi nama lengkapku akan muncul diukir di batu nisan. Ucapnya dalam hati.

***

"TOR revisi sudah saya kirim ke email, Di. Silahkan cek dan persiapkan. Oiya, selamat bertugas." Ucapan itu berasal dari Kang Didik, atasannya saat Diandra menghadap untuk berpamitan.

Tugas baru. Lebih berat dari sekedar memburu narasumber dan mengejar deadline. Terbersit sedikit keraguan di hati Diandra. Mampukah? Namun, segera ditepisnya keraguan itu. Diraihnya sebotol parfum berbotol biru di  dalam tas. Disemprotkannya ke area pergelangan tangan dan dihirupnya dalam-dalam. Itu candunya dikala pesimis melanda. Sesosok wajah pucat, kurus, dan meraung-raung ketakutan itu segera muncul seolah dipanggil oleh aroma parfum yang masuk melalui indra penciumannya. Wajah yang tadinya tampan dengan rambut pendek ikal, mata sayu, serta bibir lucu yang selalu mengurai senyum dan tawa berderai itu adalah satu-satunya alasan Diandra berkutat di dunia ini. Kini, dengan tugas baru yang diperolehnya melalui bertahun-tahun perjuangan agar bisa menjadi pemburu berita kriminal paling handal di Berita Jabar, Diandra merasa dendamnya akan segera menemui pelampiasan.

***

Di taksi dalam perjalanan menuju rumah, Diandra membuka agenda harian dan dituliskannya rencana kegiatan besok di sana.

Audrick. 13.00. Cafe de Cozy

Jumat, 15 Mei 2015

Azalea Klein part 1

"Tudtu, this is Klein. Three SS of M ASAP."

Klik.

Diputusnya sambungan segera setelah selesai bicara. Ia merasa sedikit lega. Paling tidak, kali ini ia berani berbuat sesuatu. Tarikan napasnya terasa sedikit lebih ringan. Ia menggulung rambut coklatnya dan menyelipkan ke sela topi, membiarkan udara sejuk dari air conditioner dekat kasir membelai tengkuknya.

Ia yakin Tudtu--atau orang suruhannya--tak akan terlambat. Pria Thailand itu punya jaringan menakjubkan, ia bisa diandalkan. Mereka bertemu pertama kali dalam insiden kebakaran apartemen di Bangkok setahun lalu, tepat ketika ia akan mengurus masalah suplai bahan baku yang tersendat. Tudtu datang begitu saja, dengan kaus oblong dan sandal jepit, menampakkan senyum ramah yang diagungkan maskapai Thailand sebagai senyum paling tulus, menghampirinya yang masih tercengang bersama ratusan penghuni apartemen yang dievakuasi.

"Kau pasti Lea," katanya kala itu, dengan bahasa Inggris tanpa aksen. "Maafkan aku soal suplai bahan baku, semua jadi abu dan terkubur di sana." Tudtu menggerakkan dagu ke arah kepulan asap dari apartemen yang seharusnya ia kunjungi siang itu. "Tapi situasi aman, pulanglah ke hotel. Aku akan menghubungimu di sana."

Sejak mengenal Tudtu, Lea tahu, ia masih punya harapan. Ia kembali ke Indonesia dan mencurahkan perhatian pada kafe ini, kafe yang ia harapkan akan menjadi tempat yang hangat dan nyaman, bersih dari masa lalu yang ia benci. Hingga suatu hari, ia bertemu perempuan itu. Perempuan dengan raut eksotis yang.... Ah, bagaimana mengungkapkannya?

Hidup perempuan itu sangat...menyedihkan? Atau naif? Ah, tidak keduanya. Ia hanya perempuan yang memaksa diri untuk tegar. Lea bisa menangkap kegetiran dalam sorot matanya, kegetiran dan kemuakan yang tertahan, yang cuma bisa hilang saat zat kimia di kepalanya diacak-acak. Untuk alasan itulah si perempuan eksotis ini menghubunginya sebulan sekali. Alasan itu juga yang membuat Lea sulit melepaskan kafe ini dari hal yang ia benci.

Ah, kenapa sih perempuan itu harus datang ke sini? Dan kenapa harus ia?

Masalahnya, kalau ia yang meminta, Lea tak sanggup menolaknya. Ia paham  betapa menderitanya perempuan itu kalau Lea tak memenuhi permintaannya.

"M sent. Courier with NY hat. Codename: Rasta."

Lea menatap layar ponsel, membaca pesan yang baru masuk. Dialihkannya tatapan ke jendela, mencari kurir yang akan dikirim Tudtu. Belum tampak. Ia lalu mengetik pesan singkat yang dikirimnya ke nomor lain.

"Barangnya ada di Rasta, ya, Ren. Cowok pakai topi NY di De Cozy. Have fun, be safe."

Ia tak bisa tahan untuk tak berpetatah-petitih pada perempuan itu. Walau hanya sekadar kata "be safe". Renata, perempuan itu, masih muda. Betapa masih panjang perjalanannya. Ia juga terlihat cerdas, harusnya ada masa depan baik yang menunggunya. Ah, kenapa ia jadi terbawa perasaan begini? Bukan Renata yang seharusnya ia khawatirkan, tapi dirinya sendiri.

Diraihnya kaleng bitter lemon yang berembun, disesapnya perlahan. Pikirannya melayang pada headline koran yang belakangan ini didominasi berita serupa. Ia berlangganan delapan koran yang berbeda, termasuk "koran kuning", yang biasa memasang judul bombastis tapi isinya sampah. Jenis koran yang akan diabaikan orang-orang berkerah putih di negeri ini. Mereka salah. Koran kuning menyimpan petunjuk tentang pergolakan-pergolakan di lapisan sosial terbawah yang justru jadi mayoritas di sini. Dan dari koran kuning pula ia tahu betapa ganas pengaruh dari dunia yang digelutinya. Itu pula yang menyebabkan ia ingin hengkang entah sejak berapa tahun lalu.

Tapi, yang membuatnya khawatir belakangan ini justru berita di koran-koran mainstream. Headline mereka mengarah ke satu titik di kota ini, dan beberapa kali headline itu ditulis oleh inisial yang sama. DNA.

Sial. Bahkan inisial pilihannya pun begitu high and mighty. DNA: Cetak biru makhluk hidup. Siapa gerangan manusia di balik inisial DNA ini?

DNA must be an arogant man, full of himself, huh.

Lea mendengus kecil. Bagaimanapun, jurnalis yang berhasil menorehkan inisialnya berkali-kali di headlines, bukan jurnalis yang bisa dianggap sepele.

Ia meneguk habis bitter lemon di genggamannya, membebaskan rambut coklatnya yang tadi tergulung di topi, mengancingkan jaket, lalu berdiri. Sempat ia lihat pemuda kikuk berambut ikal di non-smoking area mencuri pandang ke arahnya. Ia tahu pemuda itu. Alfa. Si violis berbakat yang pernah diundang bagian marketing untuk mengisi stage di kafe ini. Penampilannya menyedot banyak pengunjung. Jeli juga staff marketing itu mencari talent. Tapi, ia yakin Alfa tak mengenalnya. Ia tak pernah mengontaknya langsung.

Derit pintu dan ucapan selamat datang dari staff membuatnya menoleh. Itu Renata!

Dibenamkannya topi hingga nyaris menutupi mata, lalu Lea bergegas menyelinap ke pintu kecil di belakang bar.

Hari ini ia merasa tak ingin bertemu Renata. Biarlah Rasta yang menyampaikan barang pesanan itu. Kurir-kurir Tudtu toh hanya sekali pakai. Kemungkinan besar Rasta tak tahu siapa yang mengirim dan barang apa yang dibawanya. Double vigilant. Kewaspadaan ganda. Itu prinsip kerja mereka. Lea cukup mengawasi di belakang layar.

Lagi pula, ada hal lain yang membuatnya tak ingin bertemu Renata. Ia telah mengganti pesanan gadis itu dengan barang lain.

Maafkan aku, Ren. Ini untuk kebaikanmu. Lagi pula, efeknya sama saja dengan barang yang biasa kau pakai. Persis. Tak usah khawatir.

Selasa, 12 Mei 2015

Alfa W. Episode 1




Iskandar W as Alfa W

                Musik beralunan lembut terasa mengendap di telinga, bergeming, berputar-putar di dalam kepala pemuda berambut gondrong yang sedikit gimbal itu. Ia duduk dengan dagu terangkat akibat topangan tangannya. Jas hitam dengan kemeja puith di dalamnya terasa pas sekali di tubuh tegap itu, ditambah gaya santai dari celana chino dan sepatu cats yang ia padukan. Mata pemuda berkulit putih bersih tanpa tahi lalat itu mengarah pada ornamen caffe bernuansa eropa klasik. Sesekali, ia meneguk air luir yang benar-benar keluh.

                Aku bisa! Yah, aku pasti bisa bercinta dengan gadis itu! Ricaunya dalam benak.

                Pemuda itu bernama Alfa Widjaya, hampir satu jam ia menunggu di caffe dekat universitas tempatnya mengajar sebagai dosen seni musik klasik. Suasana caffe siang itu cukup ramai, maklum saja, ini sudah memasuki waktu makan siang. Beberapa meja berukur kecil, sedang, dan besar menghiasi ruangan yang di dominasi warna cream dengan ukiran-ukiran kuno namun artistik.

                Ah, andai saja aku tidak nekat cerita ke Audrick tentang hubungan percintaanku yang begitu standart. Tidak pernah pelukan, ciuman, apalagi meniduri anak orang. Pasti dia tidak akann memaksaku melakukan hal ini. Sial! Sudah dua puluh lima tahun aku hidup, tapi tidak pernah sekali pun pacaran! Batin Alfa. 

                Sorot pandangan Alfa terenggut oleh perempuan yang duduk santai di balik bar kecil caffe tersebut. Rambutnya tergerai panjang, berwarna kecoklatan, kentara sekali kalau perempuan itu merupakan darah blasteran, sama seperti Alfa yang berketurunan Indonesia dari ayahnya dan Ibunya yang blasteran Jerman-Indonesia.

                 Bunyi deringan dari pintu caffe bersuara pelan, samar, pertanda kalau ada pelanggan yang datang. Saat itu, Alfa duduk di dekat pintu, matanya langsung saja menangkap gadis jenjang berkulit cokelat eksotis. Pemuda penggila biola itu masih saja terpukau, terkesima saat kini gadis itu telah duduk di hadapannya. Alfa tahu kalau gadis bermata tajam itu sering melihat permainan biolanya saat mengajar. Gadis itu selalu duduk di barisan paling belakang dari aula gedung jurusan seni musik. 

                “Emm..., halo. Aku Alfa” ucap Alfa dengan air muka kakunya. Pemuda itu tak cukup berani memandang mata si gadis. Kepalanya tertunduk. 

                Suasana hening tercipta di antara mereka. Alfa menerka kalau gadis bernama Renata itu juga sama kikuknya seperti dia. 

***
                Remang-remang, muka Alfa tercetak dari pendar lampu kamar. Mulutnya meracau tak jelas. Ia merebahkan tubuh di kasur dengan kedua telapak tangan sebagai bantal, membuat bulu-bulu halus di ketikanya tercium jelas, bercampur aroma keringat yang sudah membanjiri tubuh. Kedua kaki pemuda itu dibuka lebar-lebar. Bungkusan celana dalam sudah tak tahu rimbanya di mana. Ia meraskan nikmat pada kulit menjuntai di selangkangannya. 

                Ahh, luar biasa sekali gadis tomboy ini. Batin Alfa.

                Langit-langit kamar terasa runtuh, mendekati mata dan semkain masuk melarung di jiwa. Tak ada lagi suara kenikmatan dari pemuda itu walaupun sang gadis masih bergerilya di tubuhnya. Seperti tersadar, pemuda itu melonjak kaget, ia berdiri cepat. Mendorong pundak lawan mainnya, lalu memompa pinggul dengan sangat cepat. Napas tersengal. Keringat berjatuhan. Ia melihat raut wajah Renata yang sepertinya sakit bukan kepalang. Adegan intim yang semula terasa mesra, berubah buas seperti binatang.

                “Dasar gadis murahan! Berapa banyak laki-laki yang menidurimu!”  ucapnya kasar. 

                Setelah permainan selesai, pemuda bertubuh putih, tegap itu melembar beberapa helai uang ke tubuh si gadis tomboy.